Seperti Tumbuhan Padi
By Iis, Mia dan Mila (kelompok 5)
Sepatu belum
dilepas. Pakaian seragam sekolahnyapun belum juga diganti.
Tas dilempar di
tempat tidurnya.
Sigit langsung membantingkan dirinya sambil menggerutu dengan
wajah cemberut.
Emosinya meledak.
Itulah
sebabnya, maka ibunya memasang telinga di muka pintu Sigit.
lngin mengetahui
apa yang sebenarnya telah terjadi pada anak tunggalnya itu.
“Prok!
Prok!” suara di dalam kamar itu mengejutkan ibu Sigit.
“Ada apa
sih, Git?” tanya ibu Sigit dari balik pintu kamar.
Tidak ada
jawaban dari dalam kamar.
“Keluarlah
nak…..!” pinta ibu Sigit halus.
Itupun tak
dijawab oleh Sigit.
“Sebaiknya
sepulang sekolah kamu cuci tangan dan makan dulu, Git…”
Tetap tidak
ada sautan. Hal itu menyebabkan ibu Sigit geleng-geleng kepala dan akhirnya
berlalu menuju dapur untuk menyiapkan makan siang.
Jam
menunjukkan pukul lima sore ketika Sigit selesai mandi.
Kini wajahnya tak
secemberut siang tadi. Apa lagi tak lama kemudian Dullah datang membawa buah duku.
“Manis juga ya….” ujar Sigit sambil mengunyah duku.
“Mau yang
masam?” kelakar Dullah.
“Nggak,
ah….”
Ditengah-tengah
keasyikan itu tiba-tiba ibu Sigit mendekatinya.
“Nah, hegitu
dong, susah itu tak ada gunanya, bukan?” kata ibu Sigit.
“Benar
nggak, Git! Dul…! Oya, sebenarnya ada kejadian apa sih, Dul, siang tadi?
Sepulang sekolah Sigit mengunci kamar menggerutu tak ada habisnya.”
Dua anak itu
berpandang-pandangan. Dullah berpikir¬pikir.
“Apa sih,
Git?” bisik Dullah kepada Sigit.
“Ridwan!
Murid baru tadi!” jawab Sigit berbisik pula. Dullah jadi ingat.
“Oya bu, di
kelas kami ada seorang murid baru. Ridwan namanya. Dia berasal dari desa. Dia
pendiam tak banyak omong. Penakut barangkali. Oleh karena itulah maka Iping
selalu menyindirnya, mana anak udik! Anak tak becus dan sebagainya. Tetapi
Ridwan tak marah sedikit pun. Namun di balik itu semua, dia cerdas sekali. Tadi
ketika ulangan matematika dia mendapat nilai sepuluh. Bayangkan, bu! Padahal
lainnya paling tinggi hanya mendapat tujuh. Termasuk Sigit yang biasanya
mendapat nilai paling baik. Namun kali ini ada yang mengungguli.” Sigit
menunduk.
“Itukah yang
menyebabkan siang tadi kau cemberut, Git?” desak ibu Sigit. “Itu keliru.
Seharusnya teman baru yang lebih pandai harus bersyukur. Bahkan dapat kalian
manfaatkan. Kalian harus banyak belajar dari dia, agar nilai-nilaimu nanti
dapat lebih baik. Lebih dari itu ibu yakin dia mesti anak baik. Tidak sombong.
Tidak suka menonjolkan kepandaiannya. Ibarat tumbuhan padi. Menunduk karena berisi.
Nah, kalian harus meniru ilmu padi itu.” Sigit dan
Dullah saling berpandangan. Mereka mengerti maksud ibu Sigit.
“Baiklah,
bu,” ucap Sigit tersendat.
“Kapan-kapan
kita belajar bersama ke rumahnya,” sambung Dullah. “Karena memang ujian sudah
dekat.”
“Tentu!”
jawab Sigit.***
Credit: Kakak Koko
^^ Semangat!.
BalasHapusBlognya masih belum ada feature -____-"
BalasHapus:D
BalasHapus